Pesawat jet MiG-31 Rusia.
MOSKOW - Moskow dilaporkan akan mengerahkan dua
skuadron pesawat jet tempur untuk patroli di Kutub Utara. Jika
dikonfirmasi Kremlin, laporan yang diterbitkan media Rusia tersebut,
akan menjadi tanda kelanjutan praktik Perang Dingin.
Surat kabar Izvestia,
mengutip sumber-sumber Kementerian Pertahanan Rusia, melaporkan pada Jumat (8/2/2019), bahwa dua skuadron pesawat jet MiG-31BM akan
berpatroli di wilayah udara Kutub Utara.
Langkah ini mengikuti
penerbangan pelatihan Moskow di Kutub Utara yang terjadi tahun lalu dan
akan kemungkinan diawasi ketat oleh Amerika Serikat (AS).
Tahun lalu, militer AS mengatakan bahwa dua pesawat pembom berkemampuan
nuklir Rusia yang dikawal oleh dua jet tempur terbang di dekat Alaska
pada 11 September.
Pesawat-pesawat Moskow itu dicegat oleh
sepasang jet tempur siluman F-22 Angkatan Udara Amerika Serikat.
Interaksi di dekat Alaska itu merupakan kedua kalinya dalam sebulan.
Gudang
senjata militer Rusia juga menjadi sorotan. Kantor Akuntabilitas
Pemerintah (GAO) AS baru-baru ini memperingatkan bahwa Washington tidak
memiliki pertahanan yang bisa diandalkan untuk melindungi diri terhadap
generasi baru senjata hipersonik yang sangat canggih dari China dan
Rusia.
Tahun lalu, militer Moskow mengklaim berhasil melakukan
uji coba rudal hipersonik berkemampuan nuklir yang mampu menyusup
pertahanan musuh. Pada bulan Desember, sebuah video yang di-posting oleh
Kementerian Pertahanan Rusia menunjukkan jet tempur MiG-31 meluncurkan
rudal Kinzhal hipersonik selama penerbangan pelatihan.
Awal bulan ini, AS secara resmi menangguhkan kewajibannya untuk mematuhi
perjanjian kontrol senjata nuklir dengan Rusia yang dikenal sebagai INF
Treaty 1987. Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo mengatakan
pemerintahan Trump bertindak setelah rudal yang dikembangkan Moskow
melanggar perjanjian tersebut.
Namun, Kremlin membantah tuduhan
tersebut dan menuntut bukti. Mengikuti langkah AS, Rusia pada akhirnya
ikut menangguhkan kewajibannya dalam mematuhi Perjanjian INF 1987. Para
pakar senjata Barat khawatir runtuhnya Perjanjian INF secara otomatis
menjadi awal dimulainya perlombaan senjata baru.