Jakarta -
Metsamor telah sejak lama dijuluki pembangkit listrik tenaga nuklir paling berbahaya di dunia karena berada di zona rawan gempa.
Kota ini berjarak 35 kilometer dari ibu kota Armenia yang hiruk-pikuk, Yerevan. Metsamor berada selemparan batu dengan Gunung Ararat yang bersalju, di seberang perbatasan Turki.
Adapun, pembangkit listrik berdaya nuklir di Metsamor dibangun bersamaan dengan Chernobyl, tahun 1970-an.
Chernobyl, pembangkit di kota Pripyat, Ukraina, meledak tahun 1986 dan dianggap tragedi nuklir terbesar karena berdampak pada kehidupan puluhan ribu warga Soviet dan sekitarnya.
Pembangkit nuklir di Metsamor menutup kebutuhan energi Uni Soviet yang terus meningkat. Kala itu, Soviet memiliki rencana ambisius untuk memenuhi 60% keperluan listrik negara mereka dari tenaga nuklir.
Segalanya berubah tahun 1988, ketika gempa bumi berkekuatan 6,8 magnitudo mengguncang Spitak, meluluhlantahkan Armenia, dan menewaskan sekitar 25 ribu orang.
Pembangkit itu langsung ditutup atas pertimbangan keamanan. Dampaknya, banyak pekerja yang pulang ke kampung halaman mereka di Polandia, Ukraina, dan Rusia.
Selang 30 tahun kemudian, keberadaan dan masa depan reaktor nuklir Metsamor masih menjadi topik kontroversial di Armenia. Salah satu reaktor pembangkit itu dinyalakan tahun 1995 dan kini menutup 40% kebutuhan tenaga listrik negara tersebut.
Para pengritik menilai pembangkit dan reaktor nuklir itu masih sangat rentan terdampak gempa. Alasannya adalah lokasi yang ramai aktivitas seismik.
Sebaliknya, para pendukung pembangkit itu, termasuk pejabat pemerintah, menyebut Metsamor dibangun di atas balok batuan basal yang stabil. Mereka berkata, modifikasi lebih lanjut juga telah dilakukan di situs nuklir itu, antara lain pemasangan pintu antiapi.
Namun di tengah pertengkaran yang masih berlangsung, kehidupan orang-orang yang tinggal dan bekerja di Metsamor terus bergulir.
Kota ini dulu dibangun untuk menarik minat para pekerja dari seluruh penjuru Uni Soviet, dari Baltik hingga Kazakhstan. Metsamor dirancang untuk menampung 36 ribu penduduk, lengkap dengan danau buatan, fasilitas olahraga, dan pusat kebudayaan.
Dalam puncak kejayaannya, pertokoan di Metsamor memiliki persediaan sembako yang lengkap. Kabar tentang mentega buatan Metsamor yang berkualitas tinggi juga mencapai Yerevan.
Ketika gempa terjadi, pembangunan kota itu berhenti dan danau menjadi kosong. Dua bulan setelahnya, pemerintah Soviet memutuskan menutup pembangkit listrik tenaga nuklir tersebut.
Gangguan suplai energi akibat perusakan sistem di sejumlah kawasan Kaukasia menunjukkan bahwa pembangkit itu tidak mungkin lagi dioperasikan secara aman. Penduduk yang tinggal di Metsamor akhirnya hidup di kota setengah jadi dengan peluang kerja minim.
Menara pendingin yangikonik di pembangkit listrik tenaga nuklirMetsamor.
Namun populasi kota Metsamor justru bertambah. Pada tahun yang sama dengan kejadian gempa, mulai berdatangan pengungsi dari Azerbaijan yang menghindari konflik di kawasan pegunungan Nagorno-Karabakh.
Pada tahun pertama konflik itu, lebih dari 450 orang tinggal di asrama Metsamor yang kosong. Mereka akhirnya menetap dan kini tinggal di rumah-rumah yang mereka bangun sendiri.
Permukiman tersebut berdiri di atas lahan yang dulu direncanakan menjadi kompleks hunian ketiga Atomograd.
Pemerintah Armenia menghadapi krisis setelah pembangkit nuklir Metsamor ditutup. Mereka terpaksa membagi rata energi yang tersedia untuk setiap daerah, maksimal satu jam per hari.
Hal itu berlaku sampai keputusan baru diambil tahun 1993. Pemerintah Armenia menghidupkan kembali dua unit reaktor yang terdapat di Metsamor, seiring uji coba yang ketat. Reaktor itu dapat menyala tapi perlu mendapat sejumlah pembaruan.
"Desain reaktor VVR kami agak tua. Misalnya, kami tidak punya kubah penahan berbahan semen untuk memuat puing-puing ledakan," kata Ara Marjanyan, pakar energi di Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
Meski begitu, Marjanyan menyebut pembangkit itu terbukti bertahan dalam gempa dashyat di Spitak. Situs itu juga disebut satu dari sedikit pembangkit listrik berdaya nuklir yang lolos uji tekanan pasca tragedi Fukushima di Jepang tahun 2011.
Saat ini, Metsamor dihuni sekitar 10 ribu penduduk, termasuk anak-anak. Di kompleks apartemen yang berjarak 5 kilometer dari menara pendingin nuklir, warga lokal menimbang kekhawatiran atas kelangkaan sumber energi dan potensi bencana akibat nuklir.
"Tahun-tahun kelam saat kelangkaan listrik sangat membekas di benak masyarakat," kata Katharina Roters, fotografer yang bertahun-tahun mendokumentasikan kehidupan di Mestamor.
"Mereka tidak bisa membayangkan hidup tanpa pembangkit listrik itu," kata Roters. Sejak 1991 hingga 1994, Armenia menderita krisis energi. Kala itu, penduduk negara itu tidak memiliki sumber listrik sama sekali.
Saat ini kota Metsamor membutuhkan perbaikan, terutama atap-atap perumahan yang bocor dan banyak bekas mesin radiator yang perlu dipotong untuk dialihfungsikan menjadi tempat duduk.
Karena tak mampu menghasilkan panas, warga lokal menganggap radiator tersebut lebih baik diubah menjadi material bangunan. Selain itu, gedung olahraga kerap ramai anak-anak yang bermain sepakbola di bawah atap bocor.
Pertanyaannya, mengapa mereka memutuskan untuk tetap tinggal di Metsamor?
Roters menemukan banyak pandangan berbeda terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir itu.
"Keluarga yang tidak lagi bekerja di pembangkit listrik biasanya frustrasi pada situasi ekonomi Armenia, sedangkan mereka yang masih mencari nafkah di sana memiliki pandangan yang lebih positif," ujarnya.
Pembangkit listrik tenaga nuklirMetsamor membutuhkan sedikit tenaga kerja. Hanya 900 orang di kota itu yang bekerja di situs tersebut.
Adapun, beberapa warga merasakan nostalgia tentang status atomograd yang pernah disandang kota mereka.
"Bagi generasi tua yang hidup dalam era Soviet, kota itu terasa seperti rumah yang aman," kata Hamlet Melkumyan, antropolog yang meneliti Metsamor.
"Di Metsamor ada rasa saling percaya dan perasaan hidup di tengah komunitas. Orang-orang menitipkan kunci rumah mereka ke tetangga saat mereka pergi," ujar Melkumyan.
Kebanggaan ini persis yang dirasakan Martin Mikaelyan, tentang rencana kota yang ambisius dan istimewa.
Mereka merasa bangga karena dipilih untuk menjadi basis bagi pembangkit listrik. Kebanggaan nasional itu masih terasa di Metsamor.
Ketika saya mengunjungi kota itu Martet lalu, atap GOR di sana bocor dan penutup balkon menjuntai hingga ke lapangan.
Meski tak terawat, penduduk setempat beradaptasi sesuai dengan kebutuhan mereka. Warga memindahkan pusat kota dan memarkir mobil di bekas jalur pedestrian.
Biaya sewa flat kini rendah, antara 450 ribu hingga 900 ribu per meter persegi. Namun penduduk kota itu tidak teronggok di tempat tinggal itu karena hubungan erat antarwarga.
"Setiap hari mereka berkumpul di luar ruang setelah jam kerja, mendiskusikan berita," kata Van Sedrakyan, pekerja di pembangkit listrik, sekaligus admin akun Facebook Metsamor.
"Anak-anak kami memiliki ruang bermain, meski kami lebih senang mereka menghabiskan waktu untuk belajar. Saya punya dua putri dan berharp mereka bertahan dan bekerja di Metsamor karena ini kampung halaman kami," ujarnya.