Bali - Petualangan Mirza Adityaswara di kursi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) akhirnya menuju tutup buku. 'Sang pengawal' rupiah itu kini harus undur diri usai menjabat 5 tahun 10 bulan.
Sudah dua periode ekonom kelahiran Surabaya tahun 1965 ini menduduki posisi strategis di bank sentral RI. Memang, dua periode yang dijalaninya terbilang singkat. Pasalnya, kiprah Mirza turut dipengaruhi oleh dinamika para seniornya, yakni Budiono dan Darmin Nasution.
Mirza bercerita, periode pertamanya sebagai Deputi Gubernur Senior BI cuma dijalaninya selama 10 bulan. Hal ini lantaran posisi tersebut diisi sebagai pergantian antar waktu. Di mana Mirza menerima efek domino dari terpilihnya Budiono yang sebelumnya mengisi kursi Gubernur BI menjadi Wakil Presiden RI.
Posisi Budiono sebagai Gubernur BI lantas ditempati Darmin Nasution yang sebelumnya menjadi Deputi Gubernur Senior BI. Kemudian baru diisi oleh Mirza pada Oktober 2013 yang meninggalkan jabatan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) .
"Kemudian DGS (Deputi Gubernur Senior) kosong, lalu DGS baru diisi pada periode Pak Agus Martowardojo. Di mana selanjutnya DGS diisi dengan term-nya Pak Darmin, dengan sisa 10 bulan. Saat itu diajukan dua nama, saya dan Anton Gunawan, terpilih saya lewat fit and proper DPR dan dilantik oleh Ketua MA Oktober 2013," kata Mirza di hadapan media di Plataran Menjangan, Bali, Jumat (5/7/2019).
Selesai 10 bulan, Mirza lantas dicalonkan kembali sebagai calon tunggal, namun tetap harus melalui fit dan proper test DPR, sampai akhirnya kembali dilantik MA.
Pada tahun 2015, Mirza juga diamanahkan tugas tambahan sebagai Anggota Dewan Komisioner ex-officio Bank Indonesia di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia menggantikan Halim Alamsyah yang selesai masa jabatannya sebagai Dewan Gubernur BI.
"Jadi sekarang (giliran) saya mau pamit, karena per 24 Juli ini merupakan akhir masa jabatan saya sebagai Deputi Gubernur Senior BI," tukas Mirza.
Rupiah Digoyang
Ia pun mengenang ketika pertama kali menjabat pada Oktober 2013 adalah masa-masa perjuangan untuk mengawal rupiah. Pasalnya, saat itu kurs rupiah digoyang cukup keras oleh dolar AS.
Kondisi terombang-ambing ini sejatinya sudah terasa sejak Mei 2013, yakni ketika Federal Reserve mengatakan mulai mengurangi stimulus dan mulai menaikkan suku bunga.
"Pada saat itu kurs mulai bergejolak khususnya di negara-negara yang mengalami current account deficit dan budget account deficit, sehingga pada saat itu pemerintah juga harus mengendalikan defisit anggarannya," Mirza bercerita.
"Subsidi pada saat itu dikurangi dan Bank Indonesia juga harus mengurangi current account deficit, karena current account defisitnya lebih dari 4% PDB di kuartal II-2013. Jadi kita harus menaikkan suku bunga secara agresif dan pengetatan LTV (loan to value)," lanjutnya.
Dampak kebijakan ini adalah inflasi sempat naik di medio 2013-2018, karena pemerintah mengurangi subsidi. Tentu ini merupakan kebijakan yang tidak populer, tetapi mau tidak mau dinilai BI harus dilakukan untuk mengendalikan anggaran pemerintah.
"Kurs dari Rp 10.000 ke Rp 13.000 tapi itu sudah dengan suku bunga dinaikin, intervensi. Saya masih ingat bagaimana cadangan devisa kita turun sampai ke US$ 92 miliar. Jadi kalau nggak dikendalikan nggak tahu ke mana," kata Mirza.
"Tapi Alhamdulillah kemudian tahun 2015, current account deficit dan inflasi kita mulai terkendali. Current account deficit mulai turun ke arah 3%, dan pada 2016-2017 bahkan di bawah 2,5% dan inflasi di level 3-3,5% pada tahun 2015-2017," ia menambahkan.
Kemudian, pengetatan yang dilakukan BI di tahun 2013 itu bisa dibalikkan jadi pelonggaran di pada 2016-2017. Sehingga secara angka-angka fundamental, ekonomi sudah kembali normal.
"Memang bukan suatu era yang mudah. Saya ingat betul bagaimana tekanan dari teman-teman pengusaha dan politik pada saat waktu kita melakukan pengetatan moneter yang memang bukan sesuatu yang mudah," tutur Mirza.
Kini roda karier Mirza kembali berputar. Ia akan lengser pada 24 Juli. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengajukan Destry Damayanti yang merupakan Anggota Dewan Komisioner LPS sebagai calon tunggal penerus Mirza.
"Yang pasti, sebagai negara emerging market, yang mana selalu butuh dana dari luar negeri, kita memang harus mengelola ekonomi ini secara prudent. Maka dari itu kami (Bank Indonesia-red.) berkomitmen untuk mengelola ekonomi dan moneter ini dengan prudent. Sekali lagi terima kasih," Mirza menandaskan.