MAKASSAR - Tim Kajian Banjir Sulawesi Selatan (TKB Sulsel) yang dipimpin oleh Syamsu Rijal mengungkapkan penyebab banjir parah yang melanda sejumlah kabupaten beberapa waktu lalu. Tim bentukan Gubernur Nurdin Abdullah itu juga memberi rekomendasi mengenai metode pencegahan yang bisa dilakukan pemerintah.
Syamsu menjelaskan, ada beberapa penyebab terjadinya banjir. Di antaranya alih fungsi lahan dan deforestasi, khususnya di hulu dan tengah DAS dan curah hujan yang ekstrem.
Selain itu, ada kondisi eksisting berupa tutupan lahan, konfigurasi lahan/kelerengan, pendangkalan sungai yang mendukung terjadinya banjir, hunian bantaran sungai, buruknya sistem drainase dan tampungan air yang tidak memadai.
"Naiknya permukaan air laut juga memberikan kontribusi sebagai penyebab banjir," kata Syamsu saat melakukan ekspose di Baruga Lounge, Kantor Gubernur Sulsel, Rabu (20/3/2019).
Ia memaparkan, data curah hujan menunjukkan kedalaman melebihi 300 mm per hari atau digolongkan sangat ekstrem. Kemudian, air di Bendungan Bili-Bili mendekati elevasi maksimal di atas 103 meter.
"Sejumlah DAS juga dalam kondisi yang sangat kritis. Mulai dari DAS Jeneberang sampai DAS Kelara," tuturnya.
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas) ini memberikan sejumlah masukan mitigasi. Di wilayah hulu DAS misalnya, menurutnya bisa dilakukan kegiatan mekanik/teknis dan vegetatif, rekayasa teknik berupa penambahan bangunan konservasi (embung), pembuatan terasering yakni mengendalikan aliran permukaan dan erosi.
"Bisa juga dibuat rorak untuk meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen dari bidang olah, membuat biopori, rehabilitasi riparian, serta sistem agroforestry-perhutanan sosial," katanya menguraikan.
Sedangkan di wilayah tengah DAS, lanjutnya, mitigasi bisa dilakukan dengan bangunan konservasi seperti wilayah hulu DAS, perlu dibangun DAM konsolidasi, groundsill dan sand pocket khususnya Jeneberang, membuat tampungan banjir berupa waduk atau embung, normalisasi aliran Sungai Jeneberang dan pengerukan bendungan secara berkelanjutan.
"Di wilayah tengah juga perlu dilakukan penanaman tanaman konservasi sepanjang aliran sungai yang rawan longsor. Seperti bambu, rumput vetifer atau akar wangi, beringin, dan rumput gajah," kata dia.
Sjamsu menambahkan, untuk di wilayah hilir, dia merekomendasikan untuk dilakukan implementasi penataan ruang dan zonasi wilayah, pembangunan situ atau waduk retensi, sumur resapan, dan biopori. Wilayah sempadan sungai sebagai bantaran banjir yang telah dihuni masyarakat menurutnya perlu direlokasi ke wilayah yang lebih aman.
"Perbaikan tanggul yang rusak, perlu segera dilakukan. Kemudian, penanaman pada wilayah riparian di luar kawasan permukiman, sistem drainase di wilayah cekungan, dan pembangunan early warning system pada wilayah dampak terkait kebencanaan dengan melibatkan provider telekomunikasi dan sistem informasi lainnya," ujarnya.