Surabaya - Kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pemkot Surabaya kembali menempuh hukum melawan PT Maspion. Hal itu dilakukan untuk mempertahankan aset tanah persil di Jalan Pemuda 17 yang direncanakan akan digunakan sebagai lahan alun-alun Suroboyo.
Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya Maria Theresia Ekawati Rahayu atau yang akrab disapa Yayuk mengatakan saat ini pihaknya terus melakukan koordinasi dengan kuasa hukum atau Kejaksaan.
"Selanjutnya, pasti pemkot ambil langkah hukum. Nanti kami akan berkoordinasi dulu dengan pengacara pemkot dan pengacara negara yang dalam hal ini pihak kejaksaan," kata Maria seperti dalam keterangan resminya yang diterima detikcom, Minggu (21/4/2019).
Dikatakan Yayuk, duduk persoalan sengketa tanah persil di Jalan Pemuda 17 itu bermula pada tahun 1994. Lahan persil seluas 3.713 meter persegi itu pada awalnya adalah milik pemkot. Kemudian pada 16 Januari 1996, Pemkot Surabaya dan PT Maspion melakukan perjanjian penyerahan penggunaan tanah dalam bentuk HGB (Hak Guna Bangunan) di atas HPL (Hak Pengelolaan) selama 20 tahun.
"Setelah ditandatangani perjanjian penyerahan penggunaan tanah itu, lalu pemkot menerbitkan sertifikat HGB no.612/Kelurahan Embong Kaliasin atas nama PT Maspion seluas 2.115,5 meter persegi. Sertifikat HGB ini berlaku hingga tanggal 15 Januari 2016, sehingga satu tugas pemkot sudah selesai di sini," terang Yayuk.
Yayuk melanjutkan kemudian pada 19 November 1997, pihak pemkot memberikan izin mendirikan bangunan (IMB) berupa kantor kepada PT Maspion. Izin itu tertuang dalam surat bernomor 118/569-95/402.05.09/1997.
"Jadi, tugas pemkot saya kira sudah selesai dengan memberikan sertifikat HGB dan IMB, sehingga lahan itu bisa langsung digunakan oleh Maspion. Tapi ternyata sampai sekarang belum dimanfaatkan maksimal. Perlu diingat juga bahwa IMB nya itu untuk kantor, bukan yang lain," imbuhnya.
Namun, seiring waktu, ternyata persil itu belum juga dimanfaatkan oleh PT Maspion. Sebaliknya, PT Maspion malah mengajukan permohonan perpanjangan HGB di atas HPL pada 29 September 2015 dan disusul surat tanggal 7 Januari 2016 yang memohon percepatan HGB di atas HPL.
"Karena selama ini kurang dimanfaatkan dengan maksimal dan waktu perjanjiannya sudah habis, maka pada tanggal 15 Januari 2016, Pemkot Surabaya memberitahukan kepada Maspion bahwa waktu perjanjiannya sudah berakhir," bebernya.
Meskipun sudah diberikan pemberitahuan beberapa kali, lanjut Yayuk, pihak Maspion rupanya tidak mengindahkan. Padahal dalam proses perjanjian tersebut telah diatur di PP 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.
"Semua proses ini sudah diatur dalam PP 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah. Pada pasal 35 dan 36 dijelaskan bahwa HGB itu berakhir sebagaimana perjanjian, dan setelah berakhir maka tanahnya dikuasai kembali oleh pemegang HPL. Jadi, pemkot hanya ingin mengambil haknya kembali, masak itu salah?" tandasnya.