Politikus Partai Hanura Arief Patramijaya mengingatkan pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Pelaksana (PP) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum 22 November 2019. Sebab, menurutnya, aturan ini bisa menyelesaikan permasalahan buruh migran.
Ada beberapa masalah yang kerap terjadi pada buruh migran. Di antaranya, masalah perekrutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
"Ini akar masalahnya. Opsi untuk bekerja terbatas. Hal ini yang dimanfaatkan agen TKI ilegal dan agen culas. Pengawasan harus benar-benar dilakukan dan tindakan hukum wajib diterapkan terhadap dua agen jenis ini (ilegal dan culas) yang melanggar dan mengakali peraturan," kata Patra di Jakarta, Minggu (31/3).
Masalah lain yakni terkait pelatihan vokasi. Dia berpendapat pemerintah dapat menggandeng beberapa universitas untuk memfasilitasi pelatihan vokasi seperti keterampilan bahasa.
"Hal ini sejalan dengan berbagai kampanye buruh migran, mereka meminta alokasi 2% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negera (APBN) untuk pelatihan vokasi ini," jelasnya.
Kemudian, masalah lainnya terkait persoalan penempatan. Dia meminta penempatan dan pendaftaran calon buruh migran merujuk pada kealihan yang dimiliki. "Selain itu, masalah penempatan yang terawasi dan penempatan yang terlindungi," tambahnya.
Patra menegaskan, Peraturan Pelaksana UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ini harus memberikan perlindungan hukum. Aturan ini bisa dijadikan daya tawar pemerintah kepada negara penerima buruh migran.
"Berbagai masalah tersebut sebaiknya diatur secara rinci dalam peraturan pelaksana UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Ini tuntutan para buruh migran.Saya mendukung 100% perjuangan teman-teman buruh migran tersebut," tegas Patra.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR-RI, Hang Ali Saputra Syah Pahan mengatakan pihaknya juga mendesak pemerintah untuk menyelesaikan Peraturan Perlaksana UU Nomor 18 Tahun 2017 itu. Dia menyebut regulasi itu bisa menjadi tumpuan perlindungan hukum kepada buruh migran Indonesia di luar negeri.
"Kita sudah meminta kepada pemerintah untuk menyelesaikan aturan turunan ini baik Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden (Perpres) atau pun Peraturan Menteri (Permen)," kata Hang Ali, di Jakarta, Minggu (31/3).
Selama ini, kata Hang Ali, DPR terus mengevaluasi rancangan aturan turunan dari UU tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia itu. Evaluasi ini untuk memastikan negara penerima memberikan perlindungan kepada buruh migran Indonesia.
"Makanya, banyak hal yang diatur dalam UU ini. Belum lagi, masalah perekrutannya tak lagi melibatkan para calon. Pada UU jelas mengatur BNP2TKI sebagai pelaksana dan operator dan Kemenaker sebagai regulator. Tak lagi tumpang tindih seperti dulu," tambahnya.
Dengan begitu, lanjutnya, kran pengiriman buruh migran ke sejumlah negara yang dimoratorium bisa dibuka kembali. Contohnya, pengiriman TKI ke Arab Saudi.
"Di Arab Saudi tidak ada perlindungan kepada buruh migran. Kalau mereka menghendaki ada pengiriman buruh migran syarat utamanya memberikan pelindungan hukum kepada mereka," imbuhnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menuturkan, moratorium pengiriman buruh migran di sejumlah negera perlu pengawasan yang baik. Jika tidak, hal itu dapat berpotensi terjadi masalah human trafficking.
"Sekarang sudah ada kemajuan dengan adanya layanan terpadu satu atap di beberapa daerah asal buruh migran dan ada portal perlindungan warga dan aplikasi safe travel yang dikelola oleh Kementerian Luar Negeri," tutur Wahyu.